Kaum sempalan sering menebarkan syubhat-syubhat kepada ummat dengan
menggunakan kata-kata seperti, “Mana dalilnya?” atau “Itu bid’ah.” atau
“Itu hadits palsu.” dan sebagainya. Ketahuilah, perbuatan mereka itu
sangat disenangi oleh para missionaris. Karena perbuatan seperti itu
akan memecah-belah ummat. Kita semua tahu bahwa ummat telah berjalan
dalam sunnah-sunnah yang baik, dalam kebiasaan-kebiasaan yang baik.
Namun kaum sempalan ini datang untuk menebarkan keraguan atas
kebiasaan-kebiasaan yang baik ini. Mereka mengajak ummat untuk
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang baik ini. Padahal
kebiasaan-kebiasaan baik ini sangat bermanfaat untuk syiar. Betapa
senangnya missionaris Kristen ketika melihat syiar Islam menjadi padam
dan ummatnya terpecah-belah. Siapa penyebab semua itu? Kaum sempalan
yang fanatik kepada ustadz-ustadz mereka. Jika kita tanyakan kepada
mereka mana dalilnya, niscaya mereka tidak menemukan dalil kecuali dalil
yang telah dipelintir tafsirannya. Atau mereka dasarkan pemikiran
mereka itu kepada kata-kata ustadz mereka yang sanad ilmu dari
ustadz-uztadz mereka tidak bersambung kepada salaful ummah, sehingga
sering salah dalam menafsirkan ayat dan hadits. Sekarang, inilah dalil
kami.
Membaca Yaa Siin
“Sesungguhnya setiap sesuatu ada hatinya, dan sesungguhnya hati al Quraan adalah (Yaasin), barang siapa yang membacanya; seolah-olah dia telah membaca al Qur`aan sepuluh kali.”
Hadits ini dikeluarkan oleh at Tirmidziy (4/46), ad Daarimiy (2/456) dari jalan Humeid bin `Abdirrahman dari al Hasan bin Shoolih dari Haarun Abi Muhammad dari Muqaatil bin Hibbaan dari Qataadah dari Anas marfuu`an. Berkata at Tirmidziy: “Hadist ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, sedang Haarun abu Muhammad majhuul (tidak dikenal), pada bab ini juga dari Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih, sebab sanadnya lemah, dan pada bab ini juga dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu.”
Jadi hadits tersebut memanglah hadits dha’if atau lemah, tetapi tidak sampai maudhu’ atau palsu. Bahkan At-Tarmidzi mengatakan bahwa hadits itu hasan gharib. Dalam hal fadhilah atau keutamaan suatu amal, hadits dha’if masih dapat dipakai. Karena hadits dha’if itu masih dianggap hadits atau perkataan Rasulullah SAW, hanya saja jalur periwayatannya kurang kuat. Hadits dha’if ini masih diambil sebagai hadits. Barangsiapa menyebut hadits dha’if sebagai hadits palsu, berarti ia telah mendustakan Rasul. Hadits dha’if adalah perkataan Rasul, barangsiapa mendustakannya, berarti mendustakan perkataan Rasul. Barangsiap mendustakan perkataan Rasul, maka bersiaplah atas tempatnya di neraka. Jika mereka mendustakan hadits ini karena ustadz-ustadz mereka berkata demikian, maka bersiaplah untuk masuk ke dalam neraka bersama ustadz-ustadz mereka. Bersiaplah mereka untuk masuk ke neraka bersama orang-orang yang mereka ikuti secara buta.
Membaca Qur`an Di Pequburan
Dari ibnu ‘Umar : Saya mendengar Rasulallah SAW berkata : “Jika seseorang diantara kalian meninggal, maka jangan ditahan (diinapkan). Dan cepatlah dimakamkan. Bacakanlah di quburnya itu surat fatihah di atas kepalanya. Adapun di kedua kakinya, bacakanlah akhir surat Al-Baqarah.” [Ditakhrij oleh Thabrany dan Baihaqi dalam bab Sya’bul Iman, dan isnadnya hasan sebagamana dikatakan oleh al-Hafizh dalam Fat-hnya (Fat-hul Mughits). Dan dalam satu riwayat dengan perkataan: "bifatihatil baqarah" (5 ayat pertama Al-Baqarah) sebagai pengganti dari "fatihatilkitab" (Al-Fatihah).]
Apa dalil mereka yang mengatakan bahwa membaca Al-Qur`an di qubur itu adalah bid’ah? Mana dalil mereka? Tidak lain, dalil mereka hanyalah perkataan ustadz-ustadz mereka. Agama mereka sangatlah cocok dikatakan sebagai agama “qola ustadz”.
Dzikir Berjama’ah Secara Jahr
Sayyidina Abdullah bin Abbas ra berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dalam dzikir ketika orang-orang telah selesai dari shalat fardhu itu terjadi pada masa Rasulullah SAW.” [HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rah.a mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah mendirikan shalat.”
Adapun hadits “Irba’uu ‘alaa anfusikum fa innakum laa tad’uuna ashomma wa laa ghaa-iba” menjelaskan larangan mengangkat suara ketika berdzikir sambil berjalan-jalan dan bukan ketika berjama’ah di suatu majelis. Jika menjahr dzikir itu di larang, lalu bagaimana dengan takbiran yang dilakukan pada hari ‘Id?
Terdapat banyak hadits yang berkenaan dengan masalah ini, diantaranya ialah sabda Rasulullah SAW, “Suatu kaum tidak berkumpul di rumah-rumah Allah (Masjid-Masjid) dan berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan (ikhlash) mengharapkan keridhoan-Nya, melainkan Allah mengampuni segala dosa mereka dan akan merubah semua kejahatan mereka menjadi kebaikan.”
Sabdanya lagi, “Suatu kaum tidak duduk bersama-sama berdzikir kepada Allahu Ta’ala, melainkan para Malaikat mengelilingi mereka, sedang rahmat meliputi mereka, dan ketenangan turun atas mereka. Dan Allah menyebut nama mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya.”
Merayakan Maulidur Rasul
Tentang keistimewaan hari lahir Nabi saw, terdapat hadits shahih dari Abi Qatadah, beliau menceritakan bahwa seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin?” Maka Rasulullah saw menjawab, “Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan kepadaku Al-Qur’an.” [Syarh Shahih Muslim An-Nawawi 8 / 52]
Maka merayakan dan bergembira atas lahirnya Rasul bukanlah perkara baru yang ditambah-tambahkan. Bahkan Allah menyuruh kita untuk bergembira atas karunia dari-Nya. Lahirnya Rasulullah adalah termasuk karunia terbesar bagi kita. Maka sunnahnya merayakan kelahiran Rasul tidak bisa dibantah hanya dengan perkataan ustadz-ustadz ekstrim (ghuluw). Agama kita bukanlah agama ‘qola ustadz’, tetapi ‘Qolallahu wa qolarrasul’. Dan tidak pernah Allah atau pun Rasul-Nya menyuruh kita untuk bersedih atas wafatnya Rasul kelak.
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: 58]
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiya: 107]
Pembagian Bid’ah
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw: “Barangsiapa membuat-buat kebiasaan baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya. Dan barangsiapa membuat-buat kebiasaan baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya.” [Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi]
Diantara bid’ah dholalah adalah penafi’an atas sunnah dan hadits. Ketika Rasul membolehkan adanya kebiasaan baru yang baik, lalu mereka berkata, “Tidak ada yang namanya bid’ah hasanah. Jika memang hal itu baik, niscaya para salaful ummah telah melakukannya,” artinya mereka menolak adanya bid’ah hasanah, maka jelaslah bahwa mereka telah menafi’kan sunnah Rasul yang membolehkan bid’ah hasanah. Termasuk bid’ah dholalah adalah menafi’kan dzikir berjama’ah yang telah nyata dilakukan di masa Rasul.
Penafi’an terhadap hadits dan sunnah Rasul, penafi’an terhadap dzikir berjama’ah adalah suatu perkara baru yang sangat buruk. Dan segala perkara baru seperti ini, tentulah tidak dicontohkan oleh Rasul dan shahabat. Perkara baru seperti ini tentulah tidak diridhoi oleh Allah. Maka segala perkara baru seperti ini adalah sesat, dan segala yang sesat itu di neraka. Maka mereka dapat terjerumus ke dalam neraka jika mereka tidak bertobat dari mendustakan Rasul dan tidak bertobat dari bid’ah dholalah. Mendustakan Rasul dan menafi’kan sunnah adalah perkara baru yang sangat buruk sekali. Tidak ada salaful ummah yang menafi’kan sunnah atau pun mendustakan Rasul. Jika mereka mengaku sebagai pengikut salafush shalih, maka itu adalah pengakuan kosong tanpa bukti.
Tawassul dengan Nabi
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” [QS. Al-Isra’: 57]
Nabi Isa dan Nabi Uzair juga mencari jalan kepada Allah, mereka mencari siapa di antara para nabi yang lebih dekat kepada Allah. Siapa yang lebih dekat kepada Allah?
Dari Umar ra. Ia berkata: Rasulullah SAAW bersabda, “Tatkala Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad akan dosa-dosaku, agar Engkau mengampuniku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana kamu mengenal Muhammad sedang Aku belum menciptakannya (sebagai manusia) ?” Adam menjawab: “Wahai Rabbku, tatkala Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan meniupkan ruh-Mu ke dalam diriku, maka Engkau Mengangkat kepalaku, lalu aku melihat di atas kaki-kaki arsy tertulis ‘Laa Ilaaha illallaah Muhammadur Rasuulullaah’ sehingga aku tahu bahwa Engkau tidak menambahkan ke dalam Nama-Mu kecuali makhluq yang paling Engkau cintai.” Lalu Allah Berfirman: “Benar engkau wahai Adam, sesungguhnya Muhammad adalah makhluq yang paling Aku cintai, berdoalah kepadaku dengan haq dia, maka sungguh Aku Mengampunimu. Sekiranya tidak ada Muhammad, maka Aku tidak menciptakanmu.” [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 2 halaman 615, dan beliau mengatakan shahih. Juga Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Ibnu Taimiyah mengutipnya dalam kitab Al-Fatwa juz 2 halaman 150, dan beliau menggunakannya sebagai tafsir/penjelasan bagi hadits-hadits yang shahih]
Bahwasanya Nabi SAAW pernah berdo’a dengan mengatakan, “Dengan haq Nabi-Mu dan Nabi-Nabi sebelum aku.” [HR. Imam Thabrani]
Mengirim Pahala bagi Mayyit
Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah SAAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a katanya: Seorang wanita telah datang menemui Rasulullah s.a.w dan berkata: Ibuku telah meninggal dunia dan masih mempunyai puasa ganti selama sebulan. Baginda bertanya kepada wanita itu dengan sabdanya: Bagaimana pendapatmu jika ibumu itu masih mempunyai hutang, adakah kamu akan membayarnya? Wanita itu menjawab: Ya. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk dibayar. (HR. Bukhori dan Muslim)
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAAW, “Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?” Ujar Nabi SAAW, “Dapat!” [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAAW lalu bertanya, “Ibuku bernadzar akan melakukan hajji, tapi belum juga dipenuhinya sampai ia meninggal. Apakah akan saya lakukan hajji itu untuknya?” Ujar Nabi SAAW, “Ya, lakukanlah! Bagaimana pendapatmu jika ibumu berhutang, adakah kamu akan membayarnya? Bayarlah, karena Allah lebih berhak untuk menerima pembayaran.” (HR. Bukhori)
Berkata Ibnu Al-Qayyim, “Ibadah itu dua macam, yaitu mengenai harta dan badan. Dengan sampainya pahala sedekah, syara’ mengisyaratkan sampainya pada sekalian ibadah yang menyangkut harta, dan dengan sampainya pahala puasa, diisyaratkan sampainya sekalian ibadah badan (badaniyah). Kemudian dinyatakan pula sampainya pahala hajji, suatu gabungan dari ibadah maliyah (harta) dan badaniyah. Maka ketiga macam ibadah itu, teranglah sampainya, baik dengan keterangan nash maupun dengan jalan perbandingan.”
Imam Nawawi mengutip penegasan Syaikh Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyyah yang menegaskan: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa seseorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari ijma’ para ulama dan dilihat dari berbagai sudut pandang, keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan.”
#Mohon Maaf kalo Berbeda dengan pemahamannya
Membaca Yaa Siin
“Sesungguhnya setiap sesuatu ada hatinya, dan sesungguhnya hati al Quraan adalah (Yaasin), barang siapa yang membacanya; seolah-olah dia telah membaca al Qur`aan sepuluh kali.”
Hadits ini dikeluarkan oleh at Tirmidziy (4/46), ad Daarimiy (2/456) dari jalan Humeid bin `Abdirrahman dari al Hasan bin Shoolih dari Haarun Abi Muhammad dari Muqaatil bin Hibbaan dari Qataadah dari Anas marfuu`an. Berkata at Tirmidziy: “Hadist ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, sedang Haarun abu Muhammad majhuul (tidak dikenal), pada bab ini juga dari Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih, sebab sanadnya lemah, dan pada bab ini juga dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu.”
Jadi hadits tersebut memanglah hadits dha’if atau lemah, tetapi tidak sampai maudhu’ atau palsu. Bahkan At-Tarmidzi mengatakan bahwa hadits itu hasan gharib. Dalam hal fadhilah atau keutamaan suatu amal, hadits dha’if masih dapat dipakai. Karena hadits dha’if itu masih dianggap hadits atau perkataan Rasulullah SAW, hanya saja jalur periwayatannya kurang kuat. Hadits dha’if ini masih diambil sebagai hadits. Barangsiapa menyebut hadits dha’if sebagai hadits palsu, berarti ia telah mendustakan Rasul. Hadits dha’if adalah perkataan Rasul, barangsiapa mendustakannya, berarti mendustakan perkataan Rasul. Barangsiap mendustakan perkataan Rasul, maka bersiaplah atas tempatnya di neraka. Jika mereka mendustakan hadits ini karena ustadz-ustadz mereka berkata demikian, maka bersiaplah untuk masuk ke dalam neraka bersama ustadz-ustadz mereka. Bersiaplah mereka untuk masuk ke neraka bersama orang-orang yang mereka ikuti secara buta.
Membaca Qur`an Di Pequburan
Dari ibnu ‘Umar : Saya mendengar Rasulallah SAW berkata : “Jika seseorang diantara kalian meninggal, maka jangan ditahan (diinapkan). Dan cepatlah dimakamkan. Bacakanlah di quburnya itu surat fatihah di atas kepalanya. Adapun di kedua kakinya, bacakanlah akhir surat Al-Baqarah.” [Ditakhrij oleh Thabrany dan Baihaqi dalam bab Sya’bul Iman, dan isnadnya hasan sebagamana dikatakan oleh al-Hafizh dalam Fat-hnya (Fat-hul Mughits). Dan dalam satu riwayat dengan perkataan: "bifatihatil baqarah" (5 ayat pertama Al-Baqarah) sebagai pengganti dari "fatihatilkitab" (Al-Fatihah).]
Apa dalil mereka yang mengatakan bahwa membaca Al-Qur`an di qubur itu adalah bid’ah? Mana dalil mereka? Tidak lain, dalil mereka hanyalah perkataan ustadz-ustadz mereka. Agama mereka sangatlah cocok dikatakan sebagai agama “qola ustadz”.
Dzikir Berjama’ah Secara Jahr
Sayyidina Abdullah bin Abbas ra berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dalam dzikir ketika orang-orang telah selesai dari shalat fardhu itu terjadi pada masa Rasulullah SAW.” [HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rah.a mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah mendirikan shalat.”
Adapun hadits “Irba’uu ‘alaa anfusikum fa innakum laa tad’uuna ashomma wa laa ghaa-iba” menjelaskan larangan mengangkat suara ketika berdzikir sambil berjalan-jalan dan bukan ketika berjama’ah di suatu majelis. Jika menjahr dzikir itu di larang, lalu bagaimana dengan takbiran yang dilakukan pada hari ‘Id?
Terdapat banyak hadits yang berkenaan dengan masalah ini, diantaranya ialah sabda Rasulullah SAW, “Suatu kaum tidak berkumpul di rumah-rumah Allah (Masjid-Masjid) dan berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan (ikhlash) mengharapkan keridhoan-Nya, melainkan Allah mengampuni segala dosa mereka dan akan merubah semua kejahatan mereka menjadi kebaikan.”
Sabdanya lagi, “Suatu kaum tidak duduk bersama-sama berdzikir kepada Allahu Ta’ala, melainkan para Malaikat mengelilingi mereka, sedang rahmat meliputi mereka, dan ketenangan turun atas mereka. Dan Allah menyebut nama mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya.”
Merayakan Maulidur Rasul
Tentang keistimewaan hari lahir Nabi saw, terdapat hadits shahih dari Abi Qatadah, beliau menceritakan bahwa seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin?” Maka Rasulullah saw menjawab, “Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan kepadaku Al-Qur’an.” [Syarh Shahih Muslim An-Nawawi 8 / 52]
Maka merayakan dan bergembira atas lahirnya Rasul bukanlah perkara baru yang ditambah-tambahkan. Bahkan Allah menyuruh kita untuk bergembira atas karunia dari-Nya. Lahirnya Rasulullah adalah termasuk karunia terbesar bagi kita. Maka sunnahnya merayakan kelahiran Rasul tidak bisa dibantah hanya dengan perkataan ustadz-ustadz ekstrim (ghuluw). Agama kita bukanlah agama ‘qola ustadz’, tetapi ‘Qolallahu wa qolarrasul’. Dan tidak pernah Allah atau pun Rasul-Nya menyuruh kita untuk bersedih atas wafatnya Rasul kelak.
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: 58]
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiya: 107]
Pembagian Bid’ah
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw: “Barangsiapa membuat-buat kebiasaan baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya. Dan barangsiapa membuat-buat kebiasaan baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya.” [Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi]
Diantara bid’ah dholalah adalah penafi’an atas sunnah dan hadits. Ketika Rasul membolehkan adanya kebiasaan baru yang baik, lalu mereka berkata, “Tidak ada yang namanya bid’ah hasanah. Jika memang hal itu baik, niscaya para salaful ummah telah melakukannya,” artinya mereka menolak adanya bid’ah hasanah, maka jelaslah bahwa mereka telah menafi’kan sunnah Rasul yang membolehkan bid’ah hasanah. Termasuk bid’ah dholalah adalah menafi’kan dzikir berjama’ah yang telah nyata dilakukan di masa Rasul.
Penafi’an terhadap hadits dan sunnah Rasul, penafi’an terhadap dzikir berjama’ah adalah suatu perkara baru yang sangat buruk. Dan segala perkara baru seperti ini, tentulah tidak dicontohkan oleh Rasul dan shahabat. Perkara baru seperti ini tentulah tidak diridhoi oleh Allah. Maka segala perkara baru seperti ini adalah sesat, dan segala yang sesat itu di neraka. Maka mereka dapat terjerumus ke dalam neraka jika mereka tidak bertobat dari mendustakan Rasul dan tidak bertobat dari bid’ah dholalah. Mendustakan Rasul dan menafi’kan sunnah adalah perkara baru yang sangat buruk sekali. Tidak ada salaful ummah yang menafi’kan sunnah atau pun mendustakan Rasul. Jika mereka mengaku sebagai pengikut salafush shalih, maka itu adalah pengakuan kosong tanpa bukti.
Tawassul dengan Nabi
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” [QS. Al-Isra’: 57]
Nabi Isa dan Nabi Uzair juga mencari jalan kepada Allah, mereka mencari siapa di antara para nabi yang lebih dekat kepada Allah. Siapa yang lebih dekat kepada Allah?
Dari Umar ra. Ia berkata: Rasulullah SAAW bersabda, “Tatkala Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad akan dosa-dosaku, agar Engkau mengampuniku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana kamu mengenal Muhammad sedang Aku belum menciptakannya (sebagai manusia) ?” Adam menjawab: “Wahai Rabbku, tatkala Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan meniupkan ruh-Mu ke dalam diriku, maka Engkau Mengangkat kepalaku, lalu aku melihat di atas kaki-kaki arsy tertulis ‘Laa Ilaaha illallaah Muhammadur Rasuulullaah’ sehingga aku tahu bahwa Engkau tidak menambahkan ke dalam Nama-Mu kecuali makhluq yang paling Engkau cintai.” Lalu Allah Berfirman: “Benar engkau wahai Adam, sesungguhnya Muhammad adalah makhluq yang paling Aku cintai, berdoalah kepadaku dengan haq dia, maka sungguh Aku Mengampunimu. Sekiranya tidak ada Muhammad, maka Aku tidak menciptakanmu.” [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 2 halaman 615, dan beliau mengatakan shahih. Juga Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Ibnu Taimiyah mengutipnya dalam kitab Al-Fatwa juz 2 halaman 150, dan beliau menggunakannya sebagai tafsir/penjelasan bagi hadits-hadits yang shahih]
Bahwasanya Nabi SAAW pernah berdo’a dengan mengatakan, “Dengan haq Nabi-Mu dan Nabi-Nabi sebelum aku.” [HR. Imam Thabrani]
Mengirim Pahala bagi Mayyit
Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah SAAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a katanya: Seorang wanita telah datang menemui Rasulullah s.a.w dan berkata: Ibuku telah meninggal dunia dan masih mempunyai puasa ganti selama sebulan. Baginda bertanya kepada wanita itu dengan sabdanya: Bagaimana pendapatmu jika ibumu itu masih mempunyai hutang, adakah kamu akan membayarnya? Wanita itu menjawab: Ya. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk dibayar. (HR. Bukhori dan Muslim)
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAAW, “Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?” Ujar Nabi SAAW, “Dapat!” [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAAW lalu bertanya, “Ibuku bernadzar akan melakukan hajji, tapi belum juga dipenuhinya sampai ia meninggal. Apakah akan saya lakukan hajji itu untuknya?” Ujar Nabi SAAW, “Ya, lakukanlah! Bagaimana pendapatmu jika ibumu berhutang, adakah kamu akan membayarnya? Bayarlah, karena Allah lebih berhak untuk menerima pembayaran.” (HR. Bukhori)
Berkata Ibnu Al-Qayyim, “Ibadah itu dua macam, yaitu mengenai harta dan badan. Dengan sampainya pahala sedekah, syara’ mengisyaratkan sampainya pada sekalian ibadah yang menyangkut harta, dan dengan sampainya pahala puasa, diisyaratkan sampainya sekalian ibadah badan (badaniyah). Kemudian dinyatakan pula sampainya pahala hajji, suatu gabungan dari ibadah maliyah (harta) dan badaniyah. Maka ketiga macam ibadah itu, teranglah sampainya, baik dengan keterangan nash maupun dengan jalan perbandingan.”
Imam Nawawi mengutip penegasan Syaikh Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyyah yang menegaskan: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa seseorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari ijma’ para ulama dan dilihat dari berbagai sudut pandang, keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan.”
#Mohon Maaf kalo Berbeda dengan pemahamannya
0 komentar:
Posting Komentar