Minggu, 13 Oktober 2013
LULUSAN MA AL'IMAROH JADI POLISI
04.59
No comments
Kamis, 02 Mei 2013
Siti Khadijah, Business Woman Paling Terkenal di Dunia
03.49
No comments
Siapa tak mengenal Siti Khadijah?
Istri pertama Rasulullah SAW ini memang termasuk salah satu wanita
terbaik yang pernah hidup di bumi. Sejak kecil ia telah lahir dan
dididik oleh keluarga terhormat, serta mulia. Hal itu membuat dirinya
tumbuh menjadi pribadi cerdas, suci, teguh, juga berperangai luhur.
Sungguh merupakan suri teladan sempurna bagi seluruh perempuan di dunia.
Satu hal menarik yang sering menjadi sorotan dari sosok wanita solehah
ini, yaitu kenyataan bahwa ia adalah seorang business woman sukses
pertama di Arab pada masa itu dengan kekayaan melimpah ruah, serta
perniagaan di mana-mana. Atas keberhasilannya ini, ia pun dijuluki “Ratu
Quraisy” juga “Ratu Mekkah”. Dapat dikatakan Siti Khodijah merupakan
wanita karir nan sibuk dan kreatif, sebab mampu menjalankan usahanya
yang sangat banyak, namun tetap dalam kejujuran. Maka dari itu perempuan
yang pertama masuk Islam ini dijuluki pula “at-Thahirah” berarti
‘bersih suci’.
Pada dasarnya Siti Khodijah memamng
hidup bersama orang tuanya yang kaya raya, namun hal itu tak lantas
membuatnya menjadi perempuan manja. Setelah ayahnya Khuwalid, meninggal
dunia ia menjadi pewaris utama harta tersebut, dan segera bergegas
mengambil alih bisnis keluarganya tersebut. Ia sangat menyadari, dalam
kondisi semacam ini akan ada banyak orang yang ingin memanfaatkan harta
tersebut untuk hidup malas, serta berfoya-foya. Oleh sebab itu, Khodijah
berusaha agar harta itu dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Kekayaan Siti Khodijah semakin bertambah
tatkala kedua suaminya sebelum Rasulullah SAW, meninggalkan harta dan
usaha yang tak terhitung banyaknya. Maka tak heran bila wanita yang
dijamin masuk surga ini amat disegani saat itu. Setelah menikah denga
Rasulullah SAW, Siti Khodijah masih menjadi pengusaha, namun hebatnya
tak sedikit pun ia melalaikan kewajiban sebagai seorang istri ataupun
ibu. Itulah alasan mengapa keempat anaknya tunbuh menjadi wanita-wanita
luar biasa yang tercatat dalam sejarah, sebut saja Zainab, Ruqayah, Ummi
Kulsum, dan Fatimah Az-Zahra.
Siti Khodijah merupakan perempuan paling
dikenal yang memberikan seluruh hartanya untuk Islam, juga demi dakwah
Rasulullah SAW. Bagi wanita tangguh ini, seluruh harta miliknya tak
berarti apapun bila dibandingkan dengan dakwah Islam. Tak sedikit pun ia
mengeluh kepada Rasulullah SAW, justru ia lah yang paling mendukung
Rasulullah dalam mentebarkan Islam.
“Berbicara Woman Business forum,
penguasaha perempuan lebih awal mendukung Islam daripada pengusaha
laki-laki. Hal ini dicontohkan Siti Khodijah, dia pengusaha perempuan
yang mendukung Islam pertama kali. Sebelumnya, tidak ada laki-laki yang
mendukung,” ujar Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia
(RI) dalam pembukaan diskusi bertema Young Leader Forum dan Business
Woman Forum sebagai bagian acara World Islam Economic Forum.
Begitulah sosok Siti Khodijah, business woman paling terkenal di dunia dari masa ke masa. Kekayaan dan jabatan tinggi, tidak membuat menjadi wanita sombong atau ambisius. Ia tetap dalam kesederhanaan, kemuliaan, kepatuhan pada suami, juga taat pada Allah. Harta yang ia kelola, tak sekedar digunakan untuk bermeawah-mewahan, melainkan sebagai dakwah. Perempuan tangguh seperti inilah yang paling pantas kita jadikan contoh, baik kemarin, besok, atau pun hari ini.
Begitulah sosok Siti Khodijah, business woman paling terkenal di dunia dari masa ke masa. Kekayaan dan jabatan tinggi, tidak membuat menjadi wanita sombong atau ambisius. Ia tetap dalam kesederhanaan, kemuliaan, kepatuhan pada suami, juga taat pada Allah. Harta yang ia kelola, tak sekedar digunakan untuk bermeawah-mewahan, melainkan sebagai dakwah. Perempuan tangguh seperti inilah yang paling pantas kita jadikan contoh, baik kemarin, besok, atau pun hari ini.
Selasa, 30 April 2013
Rombongan SULTAN.NET Mengarungi Samudra
06.29
No comments
C'kohar
Anak Kardus
Keluarga sakinah
Generasi santay
Ora Danta
SMK SULTAN.NET
ROMBONGAN SULTAN.NET
Senin, 29 April 2013
theme toko online blog free
22.27
No comments
.
Dari namanya saya berpendapat kalau maskolis memberikan nama template ini untuk menggambarkan dirinya kalau beliau itu ganteng, (muantab), tapi terpikir juga apa karena template ini dikususkan untuk toko online fashion karena dari demonya produknya berupa baju dan lainnya yang berkaitan dengan fashion, tapi apapun itu, salut sama maskolis dengan templatenya. Sebelumnya template Johny Ganteng Store sudah di rilis oleh Maskolis, tapi kali ini sepertinya versi terbaru dengan tambahan fitur, apa saja fiturnya, silahkan lihat Demo Template ini, link downloadnya disini, pelajari dulu yah cara pemakaiannya.
Itulah ke 4 template terbaru dari mastemplate.com buat sahabat Media Infonetku semoga informasi tentang template blogger tentnag toko online ini bermanfaat yah, sekali lagi terimakasih buas Maskolis atas karyanya yang sangat berguna, Kami tunggu lagi yah yang terbaru. Salam.
Dari namanya saya berpendapat kalau maskolis memberikan nama template ini untuk menggambarkan dirinya kalau beliau itu ganteng, (muantab), tapi terpikir juga apa karena template ini dikususkan untuk toko online fashion karena dari demonya produknya berupa baju dan lainnya yang berkaitan dengan fashion, tapi apapun itu, salut sama maskolis dengan templatenya. Sebelumnya template Johny Ganteng Store sudah di rilis oleh Maskolis, tapi kali ini sepertinya versi terbaru dengan tambahan fitur, apa saja fiturnya, silahkan lihat Demo Template ini, link downloadnya disini, pelajari dulu yah cara pemakaiannya.
Itulah ke 4 template terbaru dari mastemplate.com buat sahabat Media Infonetku semoga informasi tentang template blogger tentnag toko online ini bermanfaat yah, sekali lagi terimakasih buas Maskolis atas karyanya yang sangat berguna, Kami tunggu lagi yah yang terbaru. Salam.
Minggu, 28 April 2013
Wahabi Mati Kutu Dan semakin Plin-Plan
18.03
No comments
wahabi@ bid’ah kok di bela belain sih..agama itu sudah sempurna jangan di tambah tambahi..
sofi@ contohnya apa y aki?
wahabi@ jangan pura pura g tau ,supaya antum faham inilah bid’ah bid’ah yg anda lakukan ,seperti tahlilan,maulidan,dzikir jama’ah,tabaruk,dll..
sofi@ ada kah dalil yang melarangnya.??
wahabi@ akhi ini pura bodoh apa memang bodoh beneran sih,.karena akhi minta dalilnya baiklah ‘kullu bid’atin dolalah’setiap bid’ah sesat dan dalam neraka..
sofi@ menurut ulama mazhab safi’i ,bid’ah itu ada jg yg HASANAH
wahabi@ dalam hadist nabi tidak berkata seperti itu dan tidk pernah membagi bagi bid’ah,sdangkan pendapat imam mazab tdk bs di jadikan hujah ,akhi taukan tidak ada yg maksum kcuali rosulullah ,.ulama mazhab bs sj salah..
sofi.@aki mau konsekuen g?
wahabi@
maksudnya?
sofi@konsekuen dalam diskusi dong
wahabi@ insyaallah
sofi@ adakah dalil baik dalam alqur’an maupun hadist yg mengabarkan pembagian tiga tauhid?
wahabi@ tentu ada ,bnyak kok
sofi@ ada di surat dan ayat berapa allah membagi tiga tauhid?
wahabi@dalam surat alfatiha ayat 1-2 adalah dalilnya
sofi@ sdah sy cek tp dalam ayat trsebut allah tdk membagi tiga tauhid aki
wahabi@ y tentu sj tidak ada jk begitu pada dasarnya tiga tauhid itu adalah hasil penelitian yg di ambil dari alqur’an(istqror)
sofi@ owh gtu y berarti bukan allah yg membginya itu hanya penelitian manusia,nah adakah hadist tiga tauhid?
wahabi@ tidak ada..
sofi@ berarti termasuk bid’ah dong aki,
wahabi@ y tidak lah ulama bla bla bla berkata dmikian
sofi@ bukankah tidak ada yg maksum kecuali nabi saw?
wahabi@ jangan sembrangan akhi,ingatlah azb allah sangat pedih
sofi@ super pedih azabnya aki,dan sy meyakini karena hal itu dikbrkan dalam arquran ,.
saya tidak sembarangan mengatakan bid’ah aki
wahabi@ jika tiga tauhid salah tentu ada juga dong hadist nabi yang melarang tiga tauhid silakan cari hadistnya aki
sofi@ tentu ada aki ini hadistnya ”KULLU BID’ATIN DHOLALAH”
SETIAP BID’AH SESAT..dan itu adalah hadist yg shoheh..
wahabi@ ???
Tahlilan Dimata Wahabi & Sunni
17.56
No comments
WAHABI: “Mengapa Anda Tahlilan? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan?”
SUNNI: “Setahu saya, Imam al-Syafi’i tidak pernah melarang Tahlilan. Anda pasti berbohong dalam perkataan Anda tentang larangan Tahlilan oleh Imam al-Syafi’i.”
WAHABI: “Bukankah dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i telah diterangkan, bahwa selamatan selama tujuh hari kematian itu bid’ah yang makruh, dan beliau juga berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit?”
SUNNI: “Nah, terus di mana letaknya Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan? Apakah seperti yang Anda jelaskan itu? Kalau seperti itu maksud Anda, berarti Anda membesar-besarkan persoalan yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. “
WAHABI: “Kenapa begitu?”
SUNNI: “Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan suguhan makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum makruh, artinya kan boleh dikerjakan, hanya kalau ditinggalkan mendapatkan pahala. Kan begitu? Anda harus tahu, dalam beragama itu tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh. Tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.”
WAHABI: “Kalau begitu, Anda lebih tunduk kepada hukum adat dari pada hukum agama.”
SUNNI: “Sepertinya Anda belum mengerti maksud perkataan saya.”
WAHABI: “Kok justru saya dianggap tidak mengerti?”
SUNNI; “Memang begitu kenyataannya. Anda belum faham. Agar Anda dapat memahami dengan baik, sekarang saya bertanya kepada Anda. Madzhab apa yang diikuti oleh kaum Wahabi di Saudi Arabia dalam bidang fiqih? “
WAHABI: “Yang jelas Madzhab Hanbali.”
SUNNI: “Bagus kalau begitu, Anda sedikit mengerti. Begini, di antara kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama madzhab Hanbali, adalah kitab al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih al-Maqdisi. Kitab ini diterbitkan oleh pemerintahan Saudi Arabia, dan didistribusikan secara gratis kepada umat Islam. Dalam kitab tersebut terdapat keterangan begini;
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak baik meninggalkan tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak haram. Suguhan makanan kepada pentakziyah itu hanya makruh, tidak haram. Karena hal itu sudah mentradisi, ya kita ikuti saja. Kata pepatah Arab, tarkul-‘adah ‘adawah (meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan permusuhan).”
WAHABI: “Tapi kan lebih baik tidak perlu suguhan makanan, agar tidak makruh.”
SUNNI: “Anda keras kepala. Tidak mengerti pembicaraan orang. Coba Anda pahami perkataan Ibnu Aqil dalam al-Funun di atas. Di antara dasar mengapa, kita dianjurkan mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah hadits yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَلَا تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apakah kamu tidak tahu, bahwa ketika kaummu membangun Ka’bah, tidak sempurna pada pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak engkau kembalikan Ka’bah kepada pondasi Nabi Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya bukan karena kaummu baru meninggalkan kekufuran, pasti aku lakukan.” HR al-Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits di atas dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW tidak merekonstruksi Ka’bah agar sesuai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, hanya karena khawatir menimbulkan fitnah, karena kaumnya baru meninggalkan masa-masa Jahiliyah. Sampai sekarang Ka’bah yang ada, lebih kecil dari Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Ka’bah saja, yang merupakan kiblat umat Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah haji, dibiarkan oleh Rasulullah SAW, karena alasan tradisi, apalagi masalah kenduri tujuh hari, yang hukumnya hanya makruh. Persoalan Ka’bah jelas lebih besar dari selamatan Tahlilan.”
WAHABI: “Tapi dengan adanya selamatan selama tujuh hari, itu berarti meninggalkan Sunnah atau melakukan makruh yang disepakati.”
SUNNI: “Siapa bilang selamatan tujuh hari itu makruh yang disepakati? Dalam masalah ini masih terdapat beberapa pendapat. Berikut rinciannya:
Tidak semua kaum salaf memakruhkan hidangan makanan yang dibuat oleh keluarga si mati untuk orang-orang yang berta’ziyah. Dalam masalah ini ada khilafiyah di kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut ini:
Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُم فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأَويل قَوله.
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, juz 3 hal. 289.
Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.
Nah, dengan demikian, hukum suguhan makanan sebenarnya masih diperselisihkan di kalangan ulama. Kalau Anda kaum Wahabi terus memerangi suguhan makanan dalam acara tujuh hari, justru Anda yang melanggar hukum agama.”
WAHABI: “Kok justru kami yang melanggar hukum agama?”
SUNNI: “Ya betul. Dalam kaedah fiqih disebutkan, laa yunkaru al-mukhlatafu fiih wa innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alaih (tidak boleh mengingkari hukum yang diperselisihkan di kalangan ulama. Akan tetapi hanya hukum yang disepakati para ulama yang harus diprotes/ditolak).”
WAHABI: “Lalu bagaimana dengan pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang?”
SUNNI: “Imam al-Syafi’i tidak melarang apalagi mengharamkan. Beliau hanya berpendapat bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an menurut beliau tidak sampai. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal, dikatakan sampai. Banyak juga pengikut madzhab Syafi’i yang berpendapat sampai. Sedangkan pengiriman hadiah pahala selain al-Qur’an seperti sedekah, istighfar, shalawat, tahlil dan tasbih, semua ulama sepakat sampai. Jadi masalah ini persoalan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa meskipun Imam al-Syafi’i berpendapat tidak sampai tentang pahala al-Qur’an, beliau menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan seseorang, agar mendapatkan barokahnya bacaan al-Qur’an. Anda harus tahu masalah ini.”
WAHABI: “Mengapa kalian tidak konsisten dengan madzhab Syafi’i, dan tidak usah Tahlilan?”
SUNNI: “Anda benar-benar bodoh. Imam al-Syafi’i tidak melarang Tahlilan. Sudah saya katakan berkali-kali. Dan anda juga bodoh, bahwa dalam bermadzhab, tidak berarti harus mengikuti semua pendapat Imam Madzhab secara keseluruhan. Tetapi mengikuti pendapat Imam Madzhab yang kuat dalilnya. Dalam madzhab Syafi’i ada kaedah, apabila pendapat lama Imam al-Syafi’i (Qaul Qadim) bertentangan dengan pendapatnya yang baru (Qaul Jadid), maka yang diikuti adalah Qaul Jadid. Hanya dalam 12 masalah, para ulama mengikuti Qaul Jadid, karena dalilnya lebih kuat. Anda ini lucu, katanya tidak taklid kepada ulama, semata-mata mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, tapi Anda memaksa kami meninggalkan Tahlilan, dengan alasan Imam kami melarang Tahlilan.”
WAHABI: “Menurut salah seorang ustadz kami (Firanda), riwayat dari Khalifah Umar, tentang suguhan makanan oleh keluarganya kepada para pentakziyah, adalah dha’if. Mengapa Anda sampaikan?”
SUNNI: “Kami pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan pengikut Wahabi seperti Anda. Coba Anda perhatikan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal:
إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
Dalam pernyataan tersebut, yang diperketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau berupa hadits dari Rasulullah SAW. Berarti kalau bukan hadits Nabi SAW, seperti atsar Khalifah Umar, tidak perlu diperketat. Tolong Anda fahami dengan baik. Anda tahu Syaikh al-Albani?”
WAHABI: “Ya, kami tahu. Menurut kami beliau ulama besar dalam bidang hadits. Kenapa dengan Syaikh al-Albani?”
SUNNI: “Al-Albani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebagian kitabnya:
لا ينبغي لفقيه أن يحمل الناس على مذهبه
“Tidak sebaiknya bagi seorang ahli fiqih, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.”
Jadi kalau Anda mengakui al-Albani sebagai panutan Wahabi, Anda tidak perlu memaksa umat Islam yang memang bermadzhab Syafi’i, untuk mengikuti ajaran Wahabi yang Anda ikuti.”
Wallahu a’lam.
SUNNI: “Setahu saya, Imam al-Syafi’i tidak pernah melarang Tahlilan. Anda pasti berbohong dalam perkataan Anda tentang larangan Tahlilan oleh Imam al-Syafi’i.”
WAHABI: “Bukankah dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i telah diterangkan, bahwa selamatan selama tujuh hari kematian itu bid’ah yang makruh, dan beliau juga berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit?”
SUNNI: “Nah, terus di mana letaknya Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan? Apakah seperti yang Anda jelaskan itu? Kalau seperti itu maksud Anda, berarti Anda membesar-besarkan persoalan yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. “
WAHABI: “Kenapa begitu?”
SUNNI: “Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan suguhan makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum makruh, artinya kan boleh dikerjakan, hanya kalau ditinggalkan mendapatkan pahala. Kan begitu? Anda harus tahu, dalam beragama itu tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh. Tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.”
WAHABI: “Kalau begitu, Anda lebih tunduk kepada hukum adat dari pada hukum agama.”
SUNNI: “Sepertinya Anda belum mengerti maksud perkataan saya.”
WAHABI: “Kok justru saya dianggap tidak mengerti?”
SUNNI; “Memang begitu kenyataannya. Anda belum faham. Agar Anda dapat memahami dengan baik, sekarang saya bertanya kepada Anda. Madzhab apa yang diikuti oleh kaum Wahabi di Saudi Arabia dalam bidang fiqih? “
WAHABI: “Yang jelas Madzhab Hanbali.”
SUNNI: “Bagus kalau begitu, Anda sedikit mengerti. Begini, di antara kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama madzhab Hanbali, adalah kitab al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih al-Maqdisi. Kitab ini diterbitkan oleh pemerintahan Saudi Arabia, dan didistribusikan secara gratis kepada umat Islam. Dalam kitab tersebut terdapat keterangan begini;
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak baik meninggalkan tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak haram. Suguhan makanan kepada pentakziyah itu hanya makruh, tidak haram. Karena hal itu sudah mentradisi, ya kita ikuti saja. Kata pepatah Arab, tarkul-‘adah ‘adawah (meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan permusuhan).”
WAHABI: “Tapi kan lebih baik tidak perlu suguhan makanan, agar tidak makruh.”
SUNNI: “Anda keras kepala. Tidak mengerti pembicaraan orang. Coba Anda pahami perkataan Ibnu Aqil dalam al-Funun di atas. Di antara dasar mengapa, kita dianjurkan mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah hadits yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَلَا تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apakah kamu tidak tahu, bahwa ketika kaummu membangun Ka’bah, tidak sempurna pada pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak engkau kembalikan Ka’bah kepada pondasi Nabi Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya bukan karena kaummu baru meninggalkan kekufuran, pasti aku lakukan.” HR al-Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits di atas dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW tidak merekonstruksi Ka’bah agar sesuai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, hanya karena khawatir menimbulkan fitnah, karena kaumnya baru meninggalkan masa-masa Jahiliyah. Sampai sekarang Ka’bah yang ada, lebih kecil dari Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Ka’bah saja, yang merupakan kiblat umat Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah haji, dibiarkan oleh Rasulullah SAW, karena alasan tradisi, apalagi masalah kenduri tujuh hari, yang hukumnya hanya makruh. Persoalan Ka’bah jelas lebih besar dari selamatan Tahlilan.”
WAHABI: “Tapi dengan adanya selamatan selama tujuh hari, itu berarti meninggalkan Sunnah atau melakukan makruh yang disepakati.”
SUNNI: “Siapa bilang selamatan tujuh hari itu makruh yang disepakati? Dalam masalah ini masih terdapat beberapa pendapat. Berikut rinciannya:
Tidak semua kaum salaf memakruhkan hidangan makanan yang dibuat oleh keluarga si mati untuk orang-orang yang berta’ziyah. Dalam masalah ini ada khilafiyah di kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut ini:
Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُم فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأَويل قَوله.
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, juz 3 hal. 289.
Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.
Nah, dengan demikian, hukum suguhan makanan sebenarnya masih diperselisihkan di kalangan ulama. Kalau Anda kaum Wahabi terus memerangi suguhan makanan dalam acara tujuh hari, justru Anda yang melanggar hukum agama.”
WAHABI: “Kok justru kami yang melanggar hukum agama?”
SUNNI: “Ya betul. Dalam kaedah fiqih disebutkan, laa yunkaru al-mukhlatafu fiih wa innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alaih (tidak boleh mengingkari hukum yang diperselisihkan di kalangan ulama. Akan tetapi hanya hukum yang disepakati para ulama yang harus diprotes/ditolak).”
WAHABI: “Lalu bagaimana dengan pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang?”
SUNNI: “Imam al-Syafi’i tidak melarang apalagi mengharamkan. Beliau hanya berpendapat bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an menurut beliau tidak sampai. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal, dikatakan sampai. Banyak juga pengikut madzhab Syafi’i yang berpendapat sampai. Sedangkan pengiriman hadiah pahala selain al-Qur’an seperti sedekah, istighfar, shalawat, tahlil dan tasbih, semua ulama sepakat sampai. Jadi masalah ini persoalan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa meskipun Imam al-Syafi’i berpendapat tidak sampai tentang pahala al-Qur’an, beliau menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan seseorang, agar mendapatkan barokahnya bacaan al-Qur’an. Anda harus tahu masalah ini.”
WAHABI: “Mengapa kalian tidak konsisten dengan madzhab Syafi’i, dan tidak usah Tahlilan?”
SUNNI: “Anda benar-benar bodoh. Imam al-Syafi’i tidak melarang Tahlilan. Sudah saya katakan berkali-kali. Dan anda juga bodoh, bahwa dalam bermadzhab, tidak berarti harus mengikuti semua pendapat Imam Madzhab secara keseluruhan. Tetapi mengikuti pendapat Imam Madzhab yang kuat dalilnya. Dalam madzhab Syafi’i ada kaedah, apabila pendapat lama Imam al-Syafi’i (Qaul Qadim) bertentangan dengan pendapatnya yang baru (Qaul Jadid), maka yang diikuti adalah Qaul Jadid. Hanya dalam 12 masalah, para ulama mengikuti Qaul Jadid, karena dalilnya lebih kuat. Anda ini lucu, katanya tidak taklid kepada ulama, semata-mata mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, tapi Anda memaksa kami meninggalkan Tahlilan, dengan alasan Imam kami melarang Tahlilan.”
WAHABI: “Menurut salah seorang ustadz kami (Firanda), riwayat dari Khalifah Umar, tentang suguhan makanan oleh keluarganya kepada para pentakziyah, adalah dha’if. Mengapa Anda sampaikan?”
SUNNI: “Kami pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan pengikut Wahabi seperti Anda. Coba Anda perhatikan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal:
إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
Dalam pernyataan tersebut, yang diperketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau berupa hadits dari Rasulullah SAW. Berarti kalau bukan hadits Nabi SAW, seperti atsar Khalifah Umar, tidak perlu diperketat. Tolong Anda fahami dengan baik. Anda tahu Syaikh al-Albani?”
WAHABI: “Ya, kami tahu. Menurut kami beliau ulama besar dalam bidang hadits. Kenapa dengan Syaikh al-Albani?”
SUNNI: “Al-Albani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebagian kitabnya:
لا ينبغي لفقيه أن يحمل الناس على مذهبه
“Tidak sebaiknya bagi seorang ahli fiqih, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.”
Jadi kalau Anda mengakui al-Albani sebagai panutan Wahabi, Anda tidak perlu memaksa umat Islam yang memang bermadzhab Syafi’i, untuk mengikuti ajaran Wahabi yang Anda ikuti.”
Wallahu a’lam.
Jumat, 26 April 2013
Tausiah Terakhir Ustadz Jeffry
01.20
No comments
Polda Metro Jaya menyatakan Ustad yang biasa disapa Uje itu meninggal
dunia di lokasi kejadian setelah menabrak pohon di Jl. Gedong Hijau 7
Podok Indah, Jakarta Selatan. Ia mengendarai moge sport Kawasaki E650
bernomor polisi B 3590 SGQ.
Kecelakaan terjadi pada pukul 3 jumat dini hari. Beberapa jam sebelum kejadian, Uje sempat memposting tausiah singkat di fanpage Facebook miliknya. Ia mem-posting nasihat singkat mengenai penderitaan. Uje berpesan agar semua orang tidak resah karena penderitaan. Sebab, sesungguhnya penderitaan yang kita alami masih belum apa-apa dibandingkan penderitaan orang lain.
Berikut tausiah singkat Uje tersebut:
Saya SUSAH tapi ada yang LEBIH SUSAH dari saya,
Saya MENDERITA tapi ada yang LEBIH MENDERITA dari saya,
Saya SEDIH tapi ada yang LEBIH SEDIH dari saya,
Saya SAKIT tapi ada yang LEBIH SAKIT dari saya,
Rupanya saya lebih SENANG dari MEREKA.
Rupanya saya lebih BAHAGIA dari MEREKA.
Rupanya saya lebih GEMBIRA dari MEREKA.
Rupanya saya lebih SEHAT dari MEREKA.
~ ALHAMDULILLAH YA ALLAH BERSYUKUR DENGAN APA ADANYA KITA :)
Kecelakaan terjadi pada pukul 3 jumat dini hari. Beberapa jam sebelum kejadian, Uje sempat memposting tausiah singkat di fanpage Facebook miliknya. Ia mem-posting nasihat singkat mengenai penderitaan. Uje berpesan agar semua orang tidak resah karena penderitaan. Sebab, sesungguhnya penderitaan yang kita alami masih belum apa-apa dibandingkan penderitaan orang lain.
Berikut tausiah singkat Uje tersebut:
Saya SUSAH tapi ada yang LEBIH SUSAH dari saya,
Saya MENDERITA tapi ada yang LEBIH MENDERITA dari saya,
Saya SEDIH tapi ada yang LEBIH SEDIH dari saya,
Saya SAKIT tapi ada yang LEBIH SAKIT dari saya,
Rupanya saya lebih SENANG dari MEREKA.
Rupanya saya lebih BAHAGIA dari MEREKA.
Rupanya saya lebih GEMBIRA dari MEREKA.
Rupanya saya lebih SEHAT dari MEREKA.
~ ALHAMDULILLAH YA ALLAH BERSYUKUR DENGAN APA ADANYA KITA :)
Pesan Terakhir UJ : Ini Hari Terakhir Saya Gunakan BB sebagai Alat Berdakwah
01.20
No comments
Sahabat ustad Jefry atau Uje, ustad Mahdy Alatas mengatakan, sebelum
meninggal Uje diketahui sedang melakukan kegiatan bersama rekan-rekannya
dikomunitas motor gede.
Pada saat melakukan kegiatan tersebut, Uje sempat menyampaikan pesan terakhir kepada para sahabatnya yang sedang mengikuti kegiatan tersebut.
“Beliau sempat bilang kepada para sahabatnya bahwa hari ini adalah hari terakhir beliau menggunakan BlackBerry sebagai alat untuk berdakwah,” ujar ustad Mahdy, Jumat (26/4/2013).
Menurutnya, para sahabat tidak mengetahui sacara pasti mengapa Uje mengatakan hal tersebut. Namun dia mengenali Uje sebagai sosok yang bersahaja dan selalu berdakwah secara baik.
“Berdakwah itu biasa dilakukan beliau lewat apapun,” tandasnya.
Ustad Jeffry meninggal dunia hanya berselang beberapa hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-40.
“Biasanya almarhum merayakan bersama dengan teman-teman atau ustad lainnya,” tutur Fajar di kediaman almarhum di perum bukit emas, Jalan Narmada III, Rempoa, Bintaro, Jumat (26/4/2013).
Namun di usia 40 tahun, almarhum hanya ingin merayakan khusus dengan keluarga. “Mungkin ini menjadi pertanda akan meninggalkan kita,” katanya.
Ustadz yang memiliki banyak jemaah dari kalangan pemuda tersebut lehir pada 12 April 1970. Sehari setelah acara ultahnya Uje berkicau dalam twitternya dengan tulisan: “Pada akhirnya.. Semua akan menemukan yg namanya titik jenuh.. Dan pada saat itu.. Kembali adalah yg terbaik.. Kembali pada siapa..??? Kpd “DIA” pastinya.. Bismi_KA Allohumma ahya wa amuut..”
#Eramuslim
Pada saat melakukan kegiatan tersebut, Uje sempat menyampaikan pesan terakhir kepada para sahabatnya yang sedang mengikuti kegiatan tersebut.
“Beliau sempat bilang kepada para sahabatnya bahwa hari ini adalah hari terakhir beliau menggunakan BlackBerry sebagai alat untuk berdakwah,” ujar ustad Mahdy, Jumat (26/4/2013).
Menurutnya, para sahabat tidak mengetahui sacara pasti mengapa Uje mengatakan hal tersebut. Namun dia mengenali Uje sebagai sosok yang bersahaja dan selalu berdakwah secara baik.
“Berdakwah itu biasa dilakukan beliau lewat apapun,” tandasnya.
Ustad Jeffry meninggal dunia hanya berselang beberapa hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-40.
“Biasanya almarhum merayakan bersama dengan teman-teman atau ustad lainnya,” tutur Fajar di kediaman almarhum di perum bukit emas, Jalan Narmada III, Rempoa, Bintaro, Jumat (26/4/2013).
Namun di usia 40 tahun, almarhum hanya ingin merayakan khusus dengan keluarga. “Mungkin ini menjadi pertanda akan meninggalkan kita,” katanya.
Ustadz yang memiliki banyak jemaah dari kalangan pemuda tersebut lehir pada 12 April 1970. Sehari setelah acara ultahnya Uje berkicau dalam twitternya dengan tulisan: “Pada akhirnya.. Semua akan menemukan yg namanya titik jenuh.. Dan pada saat itu.. Kembali adalah yg terbaik.. Kembali pada siapa..??? Kpd “DIA” pastinya.. Bismi_KA Allohumma ahya wa amuut..”
#Eramuslim
Selasa, 23 April 2013
Eyang Subur
05.54
No comments
- Eyang Subur, yang disebut-sebut sebagai "orang pintar", mengaku
bersedia memenuhi permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk
menceraikan istri-istri kelima hingga kedelapannya. Asal tahu saja, MUI
telah mengeluarkan fatwa bahwa Subur telah menyimpang dari syariat
karena beristri lebih dari empat orang.
"Sejak awal, kami siap menceraikan atau melepaskan istri-istri Eyang Subur yang nomor lima sampai seterusnya. Eyang Subur siap menceraikan istri-istri yang lebih dari empat, demi Tuhan," ujar Ramdan Alamsyah, Kuasa hukum Subur, di Jakarta, Senin (22/4/2013).
Tapi, diungkapkan oleh Ramdan, penceraian tak langsung dilaksanakan oleh Subur terhadap empat istri terakhirnya, yang disebut menikah siri dengan Subur. Menurut Ramdan, para istri dan anak Subur kini dalam keadaan tertekan dari segi psikologis. Oleh karena itu, ia akan meminta bantuan kepada pihak Front Pembela Islam (FPI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
"Semua anak Subur itu secara psikologis merasa terganggu. Saya akan hubungi KPAI, hubungi Kak Seto, ini pascagelombang gosip, gelombang fitnah. Saya akan hubungi FPI dan kami meminta Habib Selon (dari FPI) melakukan bimbingan," ujar Ramdan lagi.
Selama menjadi kuasa hukum, Ramdan melihat kehidupan Subur dan para istrinya adem ayem. Menurut Ramdan pula, istri-istri Subur memiliki kriteria tertentu sehingga Subur menikah dengan mereka.
"Mereka hidup bahagia, rukun, tidak pernah ribut. Anak-anak enggak ada yang berantem. Istri-istri Subur tuh, yang dinikahi itu yang memang butuh pertolongan, seperti janda, sakit," terang Ramdan.
"Sejak awal, kami siap menceraikan atau melepaskan istri-istri Eyang Subur yang nomor lima sampai seterusnya. Eyang Subur siap menceraikan istri-istri yang lebih dari empat, demi Tuhan," ujar Ramdan Alamsyah, Kuasa hukum Subur, di Jakarta, Senin (22/4/2013).
Tapi, diungkapkan oleh Ramdan, penceraian tak langsung dilaksanakan oleh Subur terhadap empat istri terakhirnya, yang disebut menikah siri dengan Subur. Menurut Ramdan, para istri dan anak Subur kini dalam keadaan tertekan dari segi psikologis. Oleh karena itu, ia akan meminta bantuan kepada pihak Front Pembela Islam (FPI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
"Semua anak Subur itu secara psikologis merasa terganggu. Saya akan hubungi KPAI, hubungi Kak Seto, ini pascagelombang gosip, gelombang fitnah. Saya akan hubungi FPI dan kami meminta Habib Selon (dari FPI) melakukan bimbingan," ujar Ramdan lagi.
Selama menjadi kuasa hukum, Ramdan melihat kehidupan Subur dan para istrinya adem ayem. Menurut Ramdan pula, istri-istri Subur memiliki kriteria tertentu sehingga Subur menikah dengan mereka.
"Mereka hidup bahagia, rukun, tidak pernah ribut. Anak-anak enggak ada yang berantem. Istri-istri Subur tuh, yang dinikahi itu yang memang butuh pertolongan, seperti janda, sakit," terang Ramdan.
Kamis, 18 April 2013
Rabu, 10 April 2013
Kisah Nabi Khidir
16.29
No comments
Salah satu kisah Al-Quran yang sangat mengagumkan dan dipenuhi
dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah s.w.t
memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah tersebut
terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan
cerita Nabi Musa, yaitu:
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: 'Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan;
atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun." (QS. al-Kahfi:
60)
Kalimat yang samar menunjukkan bahawa Musa telah bertekad untuk
meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika
beliau mampu mencapai majma' al-Bahrain (pertemuan dua buah
lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti
oleh Musa ketika beliau sampai di majma' al-Bahrain. Anda dapat
merenungkan betapa tempat itu sangat misteri dan samar. Para musafir
telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui
hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahawa tempat itu adalah laut
Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahawa itu adalah laut
Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahawa itu berada di
Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang
mengatakan bahawa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat
menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.
Seandainya tempat itu harus disebutkan nescaya Allah s.w.t akan
rnenyebutkannya. Namun Al-Quran al-Karim sengaja menyembunyikan
tempat itu, sebagaimana Al-Quran tidak menyebutkan kapan itu terjadi.
Begitu juga, Al-Quran tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang
terdapat dalam kisah itu kerana adanya hikmah yang tinggi yang kita
tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu
yang tidak kita miliki, kerana biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan
dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu
para nabi kerana biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita
sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar;
ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi
dengan rangkaian tabir yang tebal.
Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang
mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi
tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Quran
sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Quran sengaja
menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah s.w.t mengisyaratkan hal
tersebut dalam firman-Nya:
"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi: 65)
Al-Quran al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud,
yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya.
Nabi Musa adalah seseorang yang diajak berbicara langsung oleh Allah
s.w.t dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik
mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang
Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam
kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus
belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah
belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya
adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Quran
meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahawa ia adalah Khidir as.
Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah s.w.t
tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula
Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahawa ia
tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mahu ditemani
oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa
yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir
merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-
gerinya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa.
Sebahagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap
sebagai kejahatan di mata Musa; sebahagian tindakan Khidir yang lain
dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki erti apa pun; dan tindakan
yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang.
Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa
namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat
perilaku hamba yang mendapatkan kurnia ilmunya dari sisi Allah s.w.t.
Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi
ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bahagian
dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga
para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini
dalam Al-Quran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-
mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat
keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah s.w.t yang
bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada
"cemburu" dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul kerana
pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeza pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebahagian
mereka mengatakan bahawa ia seorang wali dari wali-wali Allah s.w.t.
Sebahagian lagi mengatakan bahawa ia seorang nabi. Terdapat banyak
cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada
yang mengatakan bahawa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas,
kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang
dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahawa
beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba Allah s.w.t
yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan
kenabiannya. Tentu termasuk masalah yang sangat rumit atau
membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal
sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Quran.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka
untuk menyembah Allah s.w.t dan menceritakan kepada mereka tentang
kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat.
Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil
bertanya: "Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu
wahai Nabi Allah?" Dengan nada emosi, Musa menjawab: "Tidak ada."
Allah s.w.t tidak setuju dengan jawapan Musa. Lalu Allah s.w.t mengutus
Jibril untuk bertanya kepadanya: "Wahai Musa, tidakkah engkau
mengetahui di mana Allah s.w.t meletakkan ilmu-Nya?" Musa mengetahui
bahawa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali
berkata kepadanya: "Sesungguhnya Allah s.w.t mempunyai seorang
hamba yang berada di majma' al-Bahrain yang ia lebih alim daripada
kamu." Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu
timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang
alim ini. Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu.
Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di
keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat
itulah Musa akan menemui hamba yang alim.
Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang
pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang.
Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan
soleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan
masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian
ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk
menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat
jauh dan menempuh waktu yang lama.
Musa berkata kepada pembantunya: "Aku tidak memberimu tugas apa
pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah
denganmu." Pemuda atau pembantunya berkata: "Sungguh engkau hanya
memberi aku tugas yang tidak terlalu berat." Kedua orang itu sampai di
suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk
sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan
sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut.
Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah
s.w.t kepada Musa tentang tempat pertemuannya dengan seseorang yang
bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit
dari tidurnya dan tidak mengetahui bahawa ikan yang dibawanya telah
melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan
peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan
perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian
Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia
berkata kepada pembantunya: "Cuba bawalah kepada kami makanan
siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari
perjalanan ini."
Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat
bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu
kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa kerana lupa
menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang
menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar
berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan.
Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan
ia berkata: "Demikianlah yang kita inginkan." Melompatnya ikan itu ke
lautan adalah sebagai tanda bahawa di tempat itulah mereka akan
bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya
kembali dan menyelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang
di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan
suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai
suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap
Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Musa
sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di
batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa
keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami
tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana
bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah
gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-Quran: "Lalu mereka bertemu
dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami. "
Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu
yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fizik
atau lahiriah. Allah s.w.t berfirman:
"Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut
itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat
mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh,
berkatalah Musa kepada muridnya: 'Bawalah ke mari makanan kita;
sesungguhnya kita merasa letih kerana perjalanan kita ini.' Muridnya
menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di
batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan
itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya
kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara
yang aneh sekali.' Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari; lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. al-Kahfi: 61-65)
Bukhari mengatakan bahawa Musa dan pembantunya menemukan Khidir
di atas sejadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia
menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: "Apakah di bumimu ada
salam? Siapa kamu?" Musa menjawab: "Aku adalah Musa." Khidir berkata:
"Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari
Bani Israil." Musa berkata: "Dari mana kamu mengenal saya?" Khidir
menjawab: "Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga
yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai
Musa?" Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: "Apakah
aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang
engkau telah memperoleh kurnia dari-Nya." Khidir berkata: "Tidakkah
cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan
wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak
akan mampu bersabar bersamaku."
Kita ingin memperhatikan sejenak perbezaan antara pertanyaan Musa
yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawapan Khidir yang
tegas di mana ia memberitahu Musa bahawa ilmunya tidak harus
diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir.
Para ahli tafsir mengemukakan bahawa Khidir berkata kepada Musa:
"Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar
untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek
lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran
untuk menilai ilmuku. Barangkali engkau akan melihat dalam tindakan-
tindakanku yang tidak engkau fahami sebab-sebabnya. Oleh kerana itu,
wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin
mendapatkan ilmuku." Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas
dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya
menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahawa
insya-Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak
akan menentang sedikit pun.
Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah
s.w.t, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahawa ia
tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah s.w.t yang namanya
tidak disebutkan dalam Al-Quran menyatakan bahawa di sana terdapat
syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan
belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang soleh
ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada
saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang soleh itu akan
memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian
mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah s.w.t dalam surah al-Kahfi:
"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepadamu ?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu
dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?' Musa berkata: 'Insya-Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'" (QS.
al-Kahfi: 66-70)
Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian
terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang
yang ada di sana agar mahu mengangkut mereka. Para pemilik perahu
mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya berserta Musa, tanpa
meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan
kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh
dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melubangi perahu itu. Ia
mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke
laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.
Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berfikir.
Musa berkata kepada dirinya sendiri: "Apa yang aku lakukan di sini,
mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa
aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah s.w.t
sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah
mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami
tetapi guruku justru merosak perahu itu dan melubanginya." Tindakan
Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah
emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia
terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat
yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi.
Musa berkata: "Apakah engkau melubanginya agar para penumpangnya
tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela."
Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah s.w.t itu menoleh
kepadanya dan menunjukkan bahawa usaha Musa untuk belajar darinya
menjadi sia-sia kerana Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa meminta
maaf kepada Khidir kerana ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak
menghukumnya.
Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan
tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah
letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon
dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut
ketika melihat hamba Allah s.w.t ini membunuh anak kecil itu. Musa
dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja
dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba
Allah s.w.t itu kembali mengingatkan Musa bahawa ia tidak akan mampu
bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya kerana lagi-lagi ia
lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah
kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan
meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil.
Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan
mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa
habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi
penduduk itu tidak mahu memberi dan tidak mahu menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu petang. Kedua orang itu ingin beristirahat di
sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat
hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia
menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan
membangunnya seperti baru. Musa sangat hairan melihat tindakan
gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk
mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: "Seandainya
engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu."
Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah s.w.t itu berkata kepadanya:
"Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku." Hamba Allah s.w.t
itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak
dilontarkan dan ia mengingatkannya bahawa pertanyaan yang ketiga
adalah akhir dari pertemuan.
Kemudian hamba Allah s.w.t itu menceritakan kepada Musa dan
membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap
tindakan hamba yang soleh itu—yang membuat Musa bingung—bukanlah
hasil dari rekayasanya atau dari inisiatif sendiri, ia hanya sekadar
menjadi jambatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di
mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang
tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras
namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih
sayang. Demikianlah bahawa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek
batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa
memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan
hamba ini. Ilmu Musa laksana setitis air dibandingkan dengan ilmu hamba
itu, sedangkan hamba Allah s.w.t itu hanya memperoleh ilmu dari Allah
s.w.t sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang
mengambil dari lautan. Allah s.w.t berfirman:
"Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu
lalu Khidir melubanginya. Musa berkata: 'Mengapa kamu melubangi
perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?
Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.' Dia
(Khidir) berkata: 'Bukankah aku telah berkata: 'Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.' Musa berkata:
'Janganlah kamu menghukum aku kerana kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.'
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa
dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata:
'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan kerana dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu
yang mungkar.' Khidir berkata: 'Bukankah sudah kukatakan
kepadamu, bahawa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?'
Musa berkata: 'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu,
sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.' Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu,
tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian
keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir
roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: 'Jikalau
kamu mau, nescaya kamu mengambil upah untuk itu.' Khidir berkata:
'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merosakkan bahtera itu, kerana di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua
orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahawa
dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti
bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya
itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu,
dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,
sedang ayahnya seseorang yang soleh, maka Tuhanmu menghendaki
supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. Demikian itu adalah
tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.'" (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba soleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya
bahawa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia
memberitahunya bahawa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru
di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan
menganggap bahawa usaha melubangi perahu mereka merupakan suatu
bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan,
yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya
peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-
perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang
rosak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan
tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga
orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahawa
terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru
membawa rahmat yang besar bagi mereka kerana Allah s.w.t akan
memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat
menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak
masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran
seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahawa nikmat terkadang
membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang
membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik ternyata justru di balik
itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah s.w.t Musa menentang dan mempersoalkan
tindakan hamba Allah s.w.t tersebut, kemudian ia menjadi mengerti
ketika hamba Allah s.w.t itu menyingkapkan kepadanya maksud dari
tindakannya dan rahmat Allah s.w.t yang besar yang tersembunyi dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembantunya dan menemaninya
untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan
yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak
merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat kerana di sana terdapat
ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami
oleh manusia kerana di balik itu terdapat rahmat Allah s.w.t yang
tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah
pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa
mengetahui bahawa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana
ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan
dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang
tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau
dapat kita cerna dengan logik biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental
yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan
ilmu para nabi yang Allah s.w.t wahyukan kepada mereka.
Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik
ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Majoriti kaum sufi
berpendapat bahawa hamba Allah s.w.t ini dari wali-wali Allah s.w.t.
Allah s.w.t telah memberinya sebahagian ilmu laduni kepadanya tanpa
sebab-sebab tertentu. Sebahagian ulama berpendapat bahawa hamba
soleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung penyataannya ulama-
ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-
Quran yang menunjukkan kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-ham-
ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami,
dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Kedua, perkataan Musa kepadanya:
"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepadamu?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu
dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu ?' Musa berkata: 'lnsya-Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,'" (QS.
al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan
berdialog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia
tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawapan yang demikian. Bila
ia bukan seorang nabi maka bererti ia tidak maksum sehingga Musa tidak
harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.
Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil
itu melalui wahyu dari Allah s.w.t dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil
tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang
menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh
membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada
keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya
tidak selalu maksum kerana terkadang ia membuat kesalahan. Jadi,
keberanian Khidir untuk membunuh anak kecil itu sebagai bukti
kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:
"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu
menurut kemahuanku sendiri. " (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia
merupakan perintah dari Allah s.w.t dan wahyu dari-Nya. Demikianlah
pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat
bahawa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para
tokoh sufi berpendapat bahawa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali
Allah s.w.t.
Salah satu pernyataan Khidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi
adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: "Wahai Musa,
manusia akan diseksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka
atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia)." Sedangkan Bisyir bin
Harits al-Hafi berkata: "Musa berkata kepada Khidir: "Berilah aku
nasihat." Khidir menjawab: "Mudah-mudahan Allah s.w.t memudahkan
kamu untuk taat kepada-Nya." Para ulama dan para ahli zuhud berselisih
pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran
pendapatnya. Perbezaan pendapat ini berhujung pangkal kepada
anggapan para ulama bahawa mereka adalah sebagai pewaris para nabi,
sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang
mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir.
Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi
kerana beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati
nas yang jelas dalam konteks Al-Quran yang menunjukkan kenabiannya
dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita
jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi
oleh Allah s.w.t sebahagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar peribadi yang mulia ini memang disengaja
agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama
dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak
terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas,
ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi kerana ia adalah
seorang guru dari Musa dan seorang ustaz baginya untuk beberapa waktu.
Cara Memasang Lagu, Musik, Mp3 di Blog.
07.20
No comments
Cara Memasang Lagu, Musik, Mp3 di Blog.
Baiklah pada kesempatan kali ini saya akan share salah satu widget blog
Y sifatnya hiburan. Mau kan setiap blognya klo dikunjungi ada musik /
lagunya ? hehe relatif . . Tapi gada salahnya buat dipasang diblog
sebagai penghilang penat, , , sambil baca isi postingan. Apalagi klo
lagu yang disajikan enak-enak. Jadi pengunjung blog Y mampir baca-baca
merasa nyaman dengan lagu yang kita putar diblog. hehe.
Banyak penyedia layanan Music Player untuk blog dengan berbagai macam model dan bentuk. Dan kali ini saya akan coba Share Widget Musik Player yang bentuknya toolbar yang bisa kita pasang diatas maupun dibawah blog. Kita akan menggunakan jasa gratis dari SCM Music Player. Ini dia sedikit kelebihan yang diberikan dari web musik player gratis ini :
- Support Blogger, Wordpress, Tumblr
- Mp3, Mp4, RSS Podcast atau Youtube Playlist
- Compatible dengan Crome, Firefox, Opera, Safari, IE
- Desain bebas utk Custom Skin RSS
Tertarik untuk mencoba ?
Yo Langsung ajj kita menuju KTP !!
Cara membuatnya cukup mudah hanya ada 3Step : Choose Skin > Edit Playlist > Configure Settings
1. Pertama Choose Skin. Disini kita bisa memilih Toolbar Skin Y akan
kita pasang nantinya di blog atau kita bisa menggunakan Custom Skin CSS.
Sebagai contoh disini saya akan menggunakan Skin Y berwarna hitam,
seperti gambar dibawah ini :
2. Selanjutnya berlanjut pada Edit Playlist. Pada tahap ini kita bisa
menyusun Playlist lagu secara manual dengan memasukkan judul dan link
lagu Y bisa kita dapatkan di youtube, 4shared atau dari web penyedia
musik lainnya. Atau kita bisa memanfaatkan RSS Podcast dari Playlist
Youtube Y kita miliki. Bagi pengguna jasa Mbah Google : pasti sangat
mudah utk mempunyai akun dari Youtube selain G+,Blogger, dll.
Sebagai contoh pemasangan disini saya akan memasang lagu secara manual
dengan memasang link lagu dari Youtube. Buka Youtube > pilih lagu Y
diinginkan. sebagai contoh saya pasang lagu dari Seconhandserenade - Is
There Anybody Out There . Ambil/copy Linknya dan pastekan di edit
playlist.
3. Berlanjut ke langkah Configure Settings, setting sesuai keinginan
kita, Auto Start/Tidak, Shuffle Playback'a, Volume'a, Toolbar'a
diatas/dibawah. Contohnya saya akan setting seperti gambar di bawah ini
:
Terakhir klik Done utk mengambil kode scriptnya
4. Proses terakhir pemasangan pada blog. Sobat dapat memasangnya di
dalam Template HTML atau pada Add Gadget/HTML di tata letak. Copy kode
script'a dan pastekan dibawah <body> atau pada add gadget/HTML di
tata letak.
Langganan:
Postingan (Atom)